Keimanan yang Istiqamah
SD-IT Qardhan Hasana Banjarbaru
Istiqamah berasal dari kata istiqaama-yastaqiimu, yang berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Dalam terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman, sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Seseorang yang istiqamah laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun walau dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung.
Diriwayatkan bahwa seorang sahabat yang bernama Sufyan ibn ‘Abdillah meminta kepada Rasulullah SAW supaya mengajarkan kepadanya intisari ajaran Islam dalam sebuah kalimat yang singkat, padat dan menyeluruh. Dengan demikian, dia tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut kepada siapa pun pada masa yang akan datang. Memenuhi permintaan sahabat tersebut, Rasulullah SAW bersabda: “katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah!” [HR. Muslim].
Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi, yaitu hati, lisan dan amal perbuatan. Seorang yang beriman haruslah istiqamah dalam ketiga dimensi tersebut. Dia akan selalu menjaga kesucian hatinya, kebenaran perkataannya, dan kesesuaian perbuatannya dengan ajaran Islam. Ibarat berjalan, seorang yang istiqamah akan selalu mengikuti jalan yang lurus, jalan yang paling cepat mengantarkannya ke tujuan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan ad-Darami dari Ibn Mas’ud r.a., diterangkan bahwa Rasulullah SAW pada suatu hari membuat satu garis lurus di hadapan beberapa sahabat. Kemudian Beliau membuat pula garis melintang-lintang di kanan-kiri garis lurus tersebut. Sambil menunjuk garis lurus, Beliau berkata: “inilah jalan Allah”. Kemudian Beliau menunjuk pada garis-garis yang banyak yang ada di kiri-kanan garis lurus itu, dan berkata: “inilah jalan-jalan bersimpang, pada setiap jalan itu ada setan yang selalu menggoda.”
Ujian Keimanan
Sikap istiqamah sangatlah diperlukan orang yang beriman. Hal ini antara lain karena orang beriman pasti akan mengalami berbagai ujian. Dengan ujian itu, Allah bisa melihat kualitas keimanan seseorang. Oleh sebab itu, orang yang istiqamah tentu akan berhasil menghadapi ujian-ujian. Di dalam al-Qur’an dijelaskan:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan ‘kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji lagi?” [Q.s. al-‘Ankabuut (29): 2].
Ujian keimanan seseorang bisa dalam bentuk menyenangkan, dan begitu pula sebaliknya. Keberhasilan bisnis adalah ujian, demikian halnya dengan kebangkrutannya. Seorang mukmin yang istiqamah akan tetap teguh dengan keimanannya menghadapi dua macam ujian tersebut. Dia tidak mundur oleh ancaman, siksaan dan segala macam hambatan lainnya. Dia tidak terbujuk oleh harta, pangkat, kemegahan, pujian dan segala macam kesenangan semu lainnya. Itulah yang dipesankan oleh Rasulullah SAW kepada Sufyan di atas, “beriman dan beristiqamah”.
Rasulullah SAW merupakan contoh teladan utama dalam istiqamah. Baik dengan siksaan, ancaman, dan celaan maupun dengan bujukan, beliau tidak bergser sedikit pun dari jalan Allah. Terhadap bujukan pemuka Quraisy misalnya, Nabi menjawab dengan tegas: “Paman, demi Allah, kalau pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud supaya Aku meninggalkan tugas dakwah ini, sungguh tidak akan Aku tinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu ada di tanganku, atau Aku binasa karenanya.”
Keteguhan hati itu pulalah yang diperlihatkan oleh Bilal ibn Rabbah tatkala disiksa oleh majikannya. Tidak sedikit pun imannya goyah. Ketika disiksa dengan diletakkan sebongkah batu besar di atas dadanya, dia berbisik: “ahad, ahad” dengan penuh keyakinan. Yasser dan Sumayyah, sepasang suami istri syuhada awal Islam, juga rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan keimanannya. anru33